Friday, July 25, 2008

Reformasi Auditor Publik:

Selama ini kata reformasi birokrasi seakan hanya pantas diarahkan pada lembaga-lembaga pemerintah seperti pemda, departemen dan lembaga pemerintah non-departemen lainnya plus lembaga-lembaga peradilan. Padahal lembaga audit yang penuh karut marut tidak tersentuh.
Lembaga audit seperti inspektorat, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK), yang lazim disebut auditor publik (public auditor), sepertinya diasumsikan sebagai lembaga yang berada di garda depan pendorong reformasi (pro reformasi), atau setidaknya sebagai lembaga yang paling akhir urutan prioritas subyek reformasi birokrasi.
Persepsi tersebut tidak mengherankan mengingat laporan rutin mereka selalu ditunggu untuk menentukan sasaran prioritas reformasi birokrasi atau setidaknya menjadi referensi tambahan bahwa reformasi birokrasi semakin mendesak dilakukan.
Betapa tidak, karena laporan tahunan mereka – yang biasanya menjadi headline surat kabar – selalu memuat atau menonjolkan temuan-temuan atau penyimpangan keuangan yang terjadi di berbagai lembaga pemerintah di atas.
Ada sekian temuan dengan potensi kerugian negara sekian teriliun, yang diselesaikan sekian miliar, dan seterusnya merupakan acara rutin publisitas Ketua BPK atau Kepala BPKP. Pada publikasi rutin (Laporan BPK umpamanya) itu selalu ada kata-kata “tidak ada itikad yang sungguh-sungguh dari para Menteri/Ketua Lembaga Negara/Pimpinan Instansi//Kepala Daerah/Direksi/Komisaris untuk melakukan proses pemulihan kerugian negara sesuai ketentuan yang berlaku”, sehingga dikesankan publik boleh berharap pada eksistensi lembaga audit untuk mengembalikan pajak mereka yang dijarah para birokrat. Bisakah kita berharap demikian?
Kegagalan Auditor Publik
Penyelesaian 486 kasus tindak pidana korupsi yang ditemukan BPKP pada periode 2002-2006 (empat tahun, pen), seperti terlihat dalam Tabel 1 berikut ini, hanya 20%. Sebagian besar kasus tersebut masih tertahan di aparat hukum (kejaksaan, kepolisian dan KPK) sehingga pengembalian uang negara menjadi terhambat. Padahal audit investigasi atas 486 kasus itu atas permintaan ketiga aparat hukum tersebut.
Tabel 1: Penyelesaian Hasil Audit BPKP Periode 2002-2006

Bila tujuan dibentuknya BPKP adalah untuk menyelamatkan uang negara dari jarahan koruptor, maka hasil tersebut sangat tidak memadai mengingat anggaran BPKP sekitar 500 miliar per tahun. Artinya, untuk menyelamatkan uang negara sebesar Rp 338,6 miliar (20% dari total kerugian yang ditemukan BPKP) diperlukan biaya sebesar 2 triliun lebih (4xRp 500M). Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan kepolisian, kejaksaan dan KPK untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Memang ada hasil lain dari kerja lembaga audit pemeritah ini pada periode yang sama, yaitu penyelesaian administratif sebanyak 1.214 kasus dengan nilai sebesar Rp 365,97 miliar. Namun hasil itu tetap tidak mencukupi dibanding biaya yang mereka keluarkan. Jadi, alih-alih menyelamatkan uang negara justru kita harus mengorbankan sejumlah uang lagi yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lebih produktif.
Hasil lembaga audit negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), meski ratio produktivitasnya sedikit lebih baik, menunjukkan tren yang tak jauh berbeda. Dari Rp 33 triliun lebih dan USD 5,5 juta kerugian negara hanya Rp 2,79 triliun lebih dan USD 504,4 ribu saja yang bisa diselamatkan dalam periode Tahun 2005 sampai dengan Semester I 2006 (Lihat Tabel 2).
Manajemen Seremonial

Tabel 2: Rekapitulasi Temuan Pemeriksaan Berindikasi Kerugian Negara
Tahun 2005 sampai dengan Semester I 2006* Dalam juta rupiah dan ribu valas
Periode Pemeriksaan
Kelompok Penanggung Jawab
Kerugian Negara/ Daerah
Telah Diselamatkan/ Disetor ke Kas Negara
Sisa Kerugian Negara
Kasus
Nilai
Kasus
Nilai
Kasus
Nilai
TA 2005
Pemerintah Pusat
701
7.713.057,46 5.526,83*
104
2.507.869,90 504,40*
597
5.205.187,56 5.022,43*
Pemerintah Daerah
2.330
1.352.224,56
226
89.187,12
2.104
1.263.037,44
BUMN
23
4.761.569,75
0
0.00
23
4.761.596,75

3.054
13.826.878,77 5.526,83*
330
2.597.057,02 504,40*
2.724
11.229.821,75 5.022,43*
Semester I TA 2006
Pemerintah Pusat
165
16.055.783,27
18
142.972,78
147
15.912.810,49
Pemerintah Daerah
1.530
1.868.803,01
3
293,11
1.527
1.868.509,90
BUMN
26
1.320.940,03
5
56.287,32
21
1.264.652,71

1.721
19.245.526,31
26
199.533,21
1.695
19.045.973,10
Jumlah

4.775
33.072.405 5.526,83*
356
2.796.610 504,40*
4.419
30.275,795 5.022,43*
Sumber: Kompas, Sabtu, 6/1/07
Angka-angka di atas – setidaknya – menunjukkan dua hal: pertama, para pimpinan lembaga audit kita (BPK da BPKP) mempertontonkan kejumudan pikiran mereka. Setiap tahun mereka melaporkan kehebatannya menemukan berbagai penyimpangan yang dilakukan birokrat akan tetapi pekerjaan mereka tidak menghasilkan apa-apa.
Laporan mereka itu hanya berhasil untuk kepentingan mereka sendiri yakni menunjukkan kepada publik bahwa “I have done my job, they dont.”. Pada hal angka yang mereka sajikan itu justru menggali kubur untuk mereka sendiri, angka-angka yang menunjukkan ketidakberartian lembaganya. Mereka telah kehilangan kreativitas untuk menjaga eksistensinya dalam sistem, yang dalam bahasa Barzelay (1992) disebut sebagai “the slave of obsolete idea” (budak dari ide-ide kuno).
Kedua, semakin memperkuat argumentasi yang telah lama diterima secara universal namun masih belum menjadi keyakinan para pengambil keputusan kita, bahwa model birokrasi Weber tidak cocok lagi untuk organisasi di abad 21 ini.
Argumentasi itu berbasis pada Teori X Mc Gregor, bahwa setiap manusia punya kecenderungan negatif, oleh sebab itu perlu diawasi secara ketat dan ketika mereka menyimpang diberi hukuman yang bisa memberi efek jera pada yang lain.
Argumentasi ini telah diterima luas oleh para penyelenggara negara dan publik seperti terlihat dari antusiasme politisi dan media massa menunggu laporan BPK dan BPKP serta menjadikan laporan mereka sebagai headline. Berita yang senantiasa menarik perhatian publik dan menjadi referensi para watchdog untuk mendesak lembaga lain agar menindak lanjuti temuan tersebut.
Sistem manajemen yang telah diterima luas itu ingin saya sebut sebagai “manajemen hantu”. Sebab, ibarat hantu, dimanapun di dunia, memang berhasil menakut-nakuti banyak orang. Dan, hantu, dimanapun, hanyalah ilusi. Demikian pula dengan hasil kerja auditor publik, seperti diperlihatkan tabel-tabel di atas, hanya memberikan dampak positif yang ilusif.
Dia telah menghantui para birokrat sedemikian rupa sehingga pekerjaan mereka seakan-akan didedikasikan untuk para auditor publik, agar mereka tidak didatangi para auditor. Rapat-rapat mereka senantiasa memperhitungkan apakah pekerjaan dan laporan yang mereka buat dapat diterima oleh auditor.
Jika tidak mereka harus merumuskan tindakan lain, mensiasati laporan, atau memberikan sesajen untuk mengusir para hantu tadi. Meminjam gurauan seorang sahabat, “manajemen hantu” itu hanya menghasilkan sistem sesajen (sogokan) berantai, diberikan pada hantu kemudian dimakan oleh gendoruwo. Skandal korupsi yang terjadi di KPU merupakan contoh konkrit dari sesajen berantai tersebut, yang melibatkan anggota KPU, Ditjen Anggaran, DPR dan BPK.

Format Baru Auditor
Kegagalan manajemen hantu itu memang tidak harus berujung pada penegasian eksistensi auditor publik dalam sistem administrasi negara kita. Kegagalan auditor publik itu lebih disebabkan oleh kesalahan format, bukan pertanda eksistensinya tidak diperlukan.
Format lama hanya berhasil menyebarkan ketakutan yang menghambat kreativitas dan kemudian “berhasil” diatasi oleh para birokrat dengan memanfatkan kelemahan metodologis format lama. Seperti kita ketahui, format lama hanya melakukan audit keuangan dengan pendekatan legalistik.
Artinya, apabila para pelaksana bisa menunjukkan bukti-bukti tertulis yang sesuai dengan peraturan perundangan, maka auditor tidak bisa berkutik. Contoh, auditor tidak dapat menyalahkan birokrat yang melakukan perjalanan dinas yang tidak bermakna bagi pekerjaan atau perjalanan dinas yang tidak terlaksana, selama pelaksana dapat menunjukkan bukti-bukti otentik; kendati bukti-bukti itu hasil rekayasa.
Auditor tidak dapat menyalahkan pelaksana atas pembelian barang dan jasa, selama barang dan jasa itu terbukti ada dan harganya sesuai dengan peraturan; kendati barang dan jasa itu tidak produktif sama sekali. Format lama tidak mempedulikan apakah program-program yang dibuat sesuai (in line) dengan rencana strategis lembaga itu, dan tidak diperdulikan pula apakah program-program berjalan efektif dan efisien.
Oleh karena itu, diperlukan format baru atau reformasi pada lembaga audit pemerintah dan negara. Format baru tidak berbekal teori x Mc Gregor, justru memberikan kepercayaan lebih besar pada pelaksana dan meninggalkan ilusi bahwa ada lembaga atau sistem yang mampu mengawasi keseluruhan operasi secara baik.
Kalau selama ini para auditor merupakan sosok yang menakutkan ibarat hantu yang gentayangan dimana-mana, maka dalam format baru auditor publik justru sebagai mitra yang mebantu proses peningkatan berkelanjutan dalam manajemen eksekutif. Sebab, auditor berfungsi membantu eksekutif menemukan masalah yang terjadi dalam sistem sehingga memungkinkannya mengambil tiondakan koreksi dan pecegahan secara memadai.
Oleh karena itu temuan-temuan BPK dan BPKP bukanlah melulu dilihat sebagai objek pidana, melainkan petunjuk bagi semua pihak terkait untuk peningkatan prosesnya masing-masing.
Untuk bisa menjadikan diri sebagai mitra, maka auditor tidak cukup hanya melakukan audit keuangan, namun juga audit kinerja dan sistem manajemen pemerintah.
Format baru itu tidaklah sepenuhnya baru karena telah diamanatkan dalam pasal 4 ayat 1 UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara serta telah menjadi bagian dari rencana strategis BPK. Hanya saja, format baru ini perlu kerja keras, peningkatan kapasitas para auditor, termasuk menjaga pikiran terbuka karena mereka harus menguasai proses-proses (bukan teknis) yang sangat beragam.

1 comment:

Anonymous said...

Semoga tulisan ini dibaca oleh BPK, BPKP, KPK dan mendapatkan tanggapan yang positif dan ditindaklanjuti....bantu mereka ya bang....
Salam ruarrr biasa...

erniesule
yaqin usaha sampai..