Friday, July 25, 2008

KERANCUAN SISTEM MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN

Kendati selalu dikritik dan menimbulkan kontroversi, pemerintah tetap menyelenggarakan Ujian Negara (UN). Alasannya, sesuai Pasal 68 PP No. 9/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UN ditujukan untuk menguji mutu lulusan dan melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Akan tetapi, bila kita telusuri lebih dalam, UN hanya salah satu wujud kerancuan konsep, organisasi dan kebijakan dari manajemen mutu pendidikan yang dikembangkan pemerintah melalui PP No. 9/2005. Bila situasi ini tidak dikoreksi, manajemen mutu pendidikan kita tidak akan efektif, karenanya kita tidak bisa berharap mutu pendidikan negeri ini akan membaik, kendati standar UN ditingkatkan berlipat-lipat.
Konsep Basi
Persoalannya, UN hanya mampu mengukur produk akhir satuan pendidikan. Dia tidak mampu memberikan ukuran-ukuran isi, proses, infrastruktur, pengelolaan dan komponen-komponen sistem pendidikan lainnya yang menghasilkan produk akhir tersebut. Dalam perspektif manajemen mutu, UN bisa dikatakan sebagai sistem yang dipakai pemerintah untuk menginspeksi mutu produk akhir (siswa) satuan pendidikan belaka, agar produk (siswa) dibawah standar tidak terkirim ke proses (pendidikan) berikutnya. Sistem itu mirip dengan konsep mutu fitness to standard (Shiba et al. 1993). Sebuah sistem basi yang telah ditinggalkan dunia industri sejak tahun 1960-an.
Sistem itu ditinggalkan karena dinilai tidak efisien. Sebab, penyimpangan produk hanya bisa diketahui setelah produk jadi, sehingga koreksi yang dilakukan sudah terlambat dan memakan biaya besar. Apa yang bisa dilakukan pada sistem itu hanyalah mendaur ulang atau memperbaiki produk akhir yang biasanya hampir mustahil sesuai standar yang diharapkan. Kita kehilangan waktu dan biaya untuk menghasilkan produk akhir (yang salah), disamping waktu dan biaya untuk mendaur ulang/memperbaiki produk tersebut dengan hasil yang tidak sempurna.
Lagi pula inspeksi di akhir saja tidak memberikan informasi memadai tentang akar masalah, karena kesalahan yang terjadi telah bertumpuk sehingga susah diurai. Dalam UN hasil maksimal yang bisa didapat adalah kelemahan siswa pada bagian tertentu dalam mata pelajaran yang diuji. Tidak bisa diketahui penyebab dari masalah tersebut yang punya banyak kemungkinan seperti proses belajar mengajar yang tidak standar, kurikulum tidak dijalankan sebagaimana seharusnya, kualitas guru dan infrastruktur yang tidak memadai, dsb.
Kelamahan lain dari konsep tersebut ialah disharmoni antara inspektor dan produsen. Dalam hal UN, guru dan sekolah sebagai produsen diposisikan sebagai tertuduh belaka ketika hasil akhirnya tidak memenuhi syarat. Padahal, mutu produk yang baik hanya bisa dihasilkan bila ada hubungan harmonis antar aktor yang terlibat. UN tidak bisa memberikan pembinaan dan bantuan apa-apa terhadap guru dan satuan pendidikan untuk mengatasi masalahnya seperti diharapkan Pasal 68 PP No. 9/2005. Sehingga tidak mengherankan bila banyak guru berani berbuat nekat melakukan perbuatan bertolak belakang dengan tujuan pendidikan itu sendiri, hanya untuk menghidari posisi sebagai tertuduh.
Konsep mutu UN berbeda dengan konsep mutu yang diamanatkan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 35 (ayat 1) UU itu mengatakan: standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar tersebut dijadikan sebagai acuan (ayat 2) dan harus dipantau oleh sebuah badan standarisasi, penjaminan dan pemantauan mutu pendidikan (ayat 3). Ketentuan dalam ayat 1, 2 dan 3 tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri (ayat 4).
Quality Assurance
Konsep yang cocok dengan amanat UU tersebut adalah Quality Assurance (QA) atau penjaminan mutu. QA adalah semua tindakan penting yang terencana dan sistematik untuk memberikan kepercayaan memadai bahwa struktur, sistem, atau komponen akan terlaksana secara memuaskan (United States Nuclear Regulatory Commission). Jadi, QA mencakup keseluruhan unsur penting dalam pasal 35 ayat 3 itu, yakni pengembangan standar, infrastruktur, personel, pemantauan, pelaporan, pengelolaan, penjaminan dan pengendalian, yang dirangkai dalam satu kesatuan sistem yang solid.
Dalam praktek QA dikendalikan oleh suatu divisi tersendiri yang terpisah dari divisi operasional dengan kewenangan cukup kuat. Tugas divisi itu biasanya adalah mengembangkan standar, memantau, melaporkan pencapaian, mengembangkan sistem untuk mengendalikan dan menjamin pencapaian standar, melakukan penilaian (assessment) terhadap sistem, serta melakukan pelatihan-pelatihan dalam konteks tugasnya tersebut, dsb.
Beranjak dari konsep dan praktek seperti diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa badan dimaksud dalam pasal 35 ayat 3 UU Sisdiknas di atas adalah semacam Badan Penjaminan Mutu Pendidikan (The Quality Assurance Agency for Education). Mirip seperti The Quality Assurance Agency for Higher Education (QAA) di Inggris yang bertugas untuk menjamin pencapaian mutu pendidikan tinggi.
Dari sisi nama, mengingat terjelamahan Inggris-nya, The Quality Assurance Agency for Education, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidkan (LPMP) sangat pas dengan pasal 35 ayat 3 di atas. Namun UU itu menyebut nomenklatur “badan”, bukan “lembaga”, sesuatu yang berbeda kedudukan dan kewenangannya dalam sistem birokrasi kita.
Permendiknas No. 7/2007, yang melahirkan kembali LPMP, mengatakan tugas LPMP adalah melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk taman kanak-kanak (TK) dan raudatul athfal (RA) di Propinsi sesuai kebijakan Mendiknas. Akan tetapi fungsi yang diamanatkan padanya, yaitu melakukan pemetaan, pengkajian, supervisi, fasilitasi, serta pengelolaan data dan informasi mutu pendidikan dan tenaga kependidikan jelas tidak begitu tegas sebagai lembaga penjamin mutu pendidikan. Bahkan, tambahan “tenaga kependidikan” dalam fungsinya, bisa mengakibatkan tereliminirnya mutu pendidikan sebagai mutu tenaga pendidikan saja.
Di sini terbukti bahwa PP No. 9/2005 tidak saja telah melencengkan konsep QA yang disiratkan UU Sisdiknas melalui UN, melainkan juga dengan mengacaukan organisasinya. Alih-alih mengembangkan sebuah badan dengan fungsi QA, PP tersebut justru mengembangkan organisasi lain bernama LPMP.
Kehadiran LPMP ini boleh dikatakan ujug-ujug – kalau bukan dipaksakan – dalam sistem manajemen mutu pendidikan kita. Sebab, lemabaga ini semula adalah Balai Pelatihan Guru (BPG) yang berkedudukan di setiap propinsi di Indonesia. Melalui SK Mendiknas No. 087/O/2003 jo SK Mendiknas 044/O/2004 dirubah menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (tanpa akhiran “an” pada kata penjaminan). Perubahan SK Mendiknas dalam waktu dekat (2003-2004) untuk lembaga yang sama itu mencerminkan kehadiran LPMP tidak punya konsep yang jelas. Ketidak jelasan itu terlihat dari ketimpangan nomenklatur dengan tupoksi (Tugas pokok dan fungsi). Kendati berlabel penjamin mutu pendidikan, aktivitas lembaga itu masih sangat mirip BPG.
Kerancuan Kedudukan
Kedudukan LPMP di bawah Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), tepatnya di bawah Direktorat Pembinaan Diklat (Ditbindiklat); bersama-sama lembaga diklat pendidik dan tenaga kependidikan milik Depdiknas lainnya; bisa mengeliminir konsep mutu pendidikan menjadi urusan diklat pendidik dan tenaga kependidikan belaka. Tujuh standar lain (proses, isi, infrastruktur, dll) seakan terabaikan. Lagi pula, kedudukan lembaga QA harus mandiri dan profesional.
Sejatinya, dilihat dari kedudukan dan dasar hukum (UU Sisdiknas), yang tepat sebagai lembaga QA dalam sistem manajemen mutu pendidikan kita saat ini adalah BSNP. Persoalannya BSNP tidak diberi tupoksi yang memadai sebagai lemabaga QA. Fungsi penjaminan mutu pendidikan, dalam PP No. 9/2005, tampaknya dibagi antara LPMP dam BSNP. Namun, persoalan berikutnya adalah: 1) bila digabung tupoksi keduanya juga tidak memadai menjalankan fungsi QA; dan 2) tidak ada hubungan sistemik yang solid antara keduanya; 3) begitu pula hubungan dengan pemda, yang de facto dan de jure menguasai satuan pendidikan yang menjadi subjek hukum UU Sisdiknas dan PP No. 9/2005 tersebut.
Sistem manajemen mutu yang rancu seperti diuraikan di atas tentu akan menghadapi banyak kendala implementasi. Lalu, mutu pendidikan seperti yang bisa diharapkan dalam sistem seperti itu?

1 comment:

Anonymous said...

Kang Med, menarik sekali artikelnya.
Tks atas share ilmu dan idenya.

A.Syafii