Friday, October 24, 2008

MINANGKABAU “REGION-STATE”

Pada sisi lain, penulis juga sering mendengar keluhan dari bupati/wali kota yang progresif, bahwa Pemprov Sumbar tidak pernah punya blue print alias visi pembangunan yang jelas, sehingga terpaksa mereka harus berjuang sendiri sesuai dengan visi masing-masing. Artinya, sejatinya ada peluang bagi pemda provinsi untuk membangun sinergi dengan pemerintah kabupaten/kota, tanpa harus menunggu “rengekan kewenangan” mereka kepada pemerintah pusat disetujui. Yang mereka perlukan hanya sebuah visi dan strategi pembangunan yang jelas, terukur, realistik, disepakati bersama, dan dapat ditelusuri.

Sejak dahulu kala Pemda Sumbar selalu menyampaikan keluhan yang sama: Sumatera Barat adalah daerah minus sumberdaya, masyarakatnya yang susah diatur, menolak pariwisata karena alasan religi, penguasaan teknologi yang rendah, dst. Mereka juga mengeluhkan tentang keterbatasan wewenang pemda yang membuat mereka tidak berwibawa di hadapan pemerintah kabupaten/kota. Seakan ingin mengatakan masalah di atas adalah given dan oleh karena itu pembangunan Sumatera Barat hanya bisa secara business as usual.

Ketika para tokoh saudagar Minang berkumpul di ranah pada tanggal 10-12 Oktober tahun 2008 ini dalam Forum Silaturahmi Saudagar Minang (FSSM), yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah (pusat dan daerah) sungguh layak bagi kita untuk mendiskusikan gagasan tentang visi pembangunan Sumbar ke depan, yang bisa dijadikan sebagai kerangka guna menyatukan potensi sumberdaya Sumbar untuk kesejahteraan masyarakat Sumbar itu sendiri. Gagasan itu saya sebut sebagai “Minangkabau region-state” (MRS).

Konsep “Region-State”

Konsep “region-state” (RS) dikemukakan oleh Kenichi Ohmae (The next Global Stage: The Challanges and Opportunities in Our Borderless World, 2005) sebagai tantangan damai terhadap konsep “nation-state” (NS) yang ilusif namun penuh emosi. Bagi Ohmae NS hanya bisa diterima karena telah diterapkan secara luas dan berhasil mendamaikan pluralisme dalam suatu negara. Namun seharusnya NS hanya digunakan sebagai konsep politik, tidak bisa diperluas penggunaannya dalam konsep ekonomi. Karena, penerapannya dalam ekonomi hanya akan membuat aplikasi konsep-konsep ekonomi – seperti pertumbuhan, pendapatan per kapita – menjadi bias. Ketika dikatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,5% tidak berarti seluruh provinsi (RS) memiliki pertumbuhan 6,5%. Bisa jadi ada daerah yang pertumbuhan ekonominya 2% dan yang lain 10%.

Konsep ini mendorong daerah untuk mandiri secara ekonomi dan independen dalam kebijakan. Di era globalisasi ini, sebuah RS harus diberi kebebasan untuk berinteraksi dengan ROW (Rest Of the World), mengatur regionnya sedemikian rupa sehingga ROW datang mensejahterahkan rakyat di RS tersebut. Bahkan Ohmae menyerukan agar RS bersaing satu sama lain untuk mengundang ROW berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja di daerahnya.

Ohmae memang tidak menyamakan RS dengan wilayah administratif seperti provinsi, namun untuk kasus Indonesia pada umumnya, terutama Sumbar, provinsi bisa dikategorikan sebagai satu kesatuan ekonomi RS.

Untuk bisa berkembang dan menjadi perhatian ROW, RS harus memiliki visi yang jelas, yang menggambarkan fokus pengembangan wilayah itu. Selanjutnya RS harus memiliki pelabuhan internasional sebagai tempat keluar masuknya barang dari ROW ke RS dan sebaliknya, memiliki infrastruktur teknologi informasi (internet) memadai, penguasaan Bahasa Inggris oleh penduduknya untuk memudahkannya berkomunikasi dengan ROW, dan memiliki perguruan tinggi teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan.

Berbicara mengenai visi bagi Ohmae bukan berarti rumusan kata-kata indah dalam dokumen  rencana strategis pemerintah, jauh lebih penting adalah tindakan-tindakan konkrit di lapangan yang menunjuk pada arah, dan menggambarkan strategi, tertentu. Ketika Pemda Sumbar membangun sekolah tinggi pariwisata menterang di dua tempat sambil pada saat bersamaan mengalihkan semua SMK  menjadi SMK Pariwisata serta memperbaiki infrastruktur pariwisata secara besar-besaran umpamanya, menunjukkan visi Sumbar sebagai daerah wisata, walaupun pernyataan itu tidak ada dalam rumusan visi resminya. Begitu pula ketika pemerintah membangun banyak bidang tanpa ada garis merah antara bidang-bidang itu, akan memperlihatkan pemerintah tidak punya visi, kendati rumusan visinya bagus secara teori.

Visi Pariwisata

Sejak pemerintahan sebelumnya, Pemda Sumbar giat memasarkan daerahnya untuk investasi. Namun, sebagaimana juga dilakukan pemda lain di Indonesia, cara yang mereka lakukan adalah cara-cara konvensional; yaitu ibarat memasarkan seisi rumah ke pasar, termasuk kasur-kasuk busuk yang tidak layak jual. Coba tengok website pemerintah daerah di Sumbar; mereka menawarkan semua hal; mulai dari pertambangan, perkebunan, kerajinan, perikanan, peternakan; baik besar maupun kecil; tanpa ada fokus dan konsep yang jelas tentang (rencana bisnis) apa yang akan dilakukan oleh pemda setempat terhadap potensi-potensi tersebut. Mereka lupa bahwa banyak daerah lain di seluruh dunia yang punya hal yang sama, kalau bukan jauh lebih baik.

Menurut penulis, kendati semua gubernur dan aparat pemerintah mengatakan bahwa ada penolakan yang keras dari masyarakat terhadap pariwisata, Pemda Sumbar harus berani menetapkan visi Sumbar sebagai daerah wisata. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan Sumbar harus diyakinkan bahwa rakyat Sumbar hanya bisa sejahtera melalui pembangunan dengan thema pariwisata. Artinya, pembangunan sektor lain, sejauh memungkinkan secara teknis, harus juga didedikasi untuk pariwisata. Lokasi tambang umpamanya, kendati memiliki proses bisnis tersendiri, harus didisain agar bisa dijadikan obyek wisata pula. Demikian pula peternakan, perkebunan, dll. seperti telah dilakukan secara terbatas di beberapa daerah.

Ini memungkinkan dilakukan di Sumbar. Di Sawah Lunto umpamanya, yang telah membangun woter boom – yang juga dikunjungi pengunjung dari berbagai daerah sekitar Sumbar – dan akan membangun kereta gantung, bekas tambang mereka bisa dijadikan bukan saja untuk dilihat, melainkan juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar sekolah teknik pertambangan, sehingga orang datang bukan hanya untuk berwisata tetapi juga bersekolah. Di sana juga punya potensi peternakan rakyat yang tersebar di perbukitan yang unik, sehingga disamping sebagai penghasilan peternak juga berkembang sebagai obyek wisata; seperti dilakukan di Swiss yang mempertontonkan peternakan dan proses pembuatan coklat yang bahan bakunya susu sapi dari peternakan setempat.

Akan tetapi, pariwisata Sawah Lunto akan berjalan lamban bila berkerja sendiri. Disitulah pentingnya dibuatkan cluster pembangunan pariwisata yang melibatkan daerah lain di sekitarnya seperti Solok, Sijunjung, Tanah Datar, dan Damasraya. Tiap daerah bisa didorong membangun obyek wisata monumental, Pemda Sumbar bisa memperbaiki akses jalan antar daerah tersebut, membangun kawasan perhotelan yang representatif sehingga mendorong turis menetap lebih lama untuk melihat obyek wisata yang lebih variatif.

Ketika cluster tersebut sudah ditetapkan dan didisain, tidak terlalu sulit menghitung potensi wisatawan yang datang, investasi pemerintah yang diperlukan, investasi swasta yang diharapkan, sektor ekonomi yang bisa dikembangkan masyarakat, kebijakan dan pembinaan yang perlu diberikan pemerintah, tenaga kerja yang terserap, keahlian dan perilaku masyarakat yang perlu dikembangkan, sekolah yang perlu dibangun, dst.

Dalam konteks MRS, cluster pariwisata seperti itu dengan sub thema berbeda bisa dikembangkan di wilayah lain seperti Padang Panjang-Bukittinggi-Agam-Payah Kumbuh; Padang-Pariaman- Agam; dst. Dan antar cluster itu bisa saja bersinergi satu sama lain sehingga secara regional akan terlihat oleh ROW betapa MRS memiliki potensi wisata yang besar sehingga menjadi tempat berinfestasi di bidang pariwisata yang menjanjikan.

Dengan konsep MRS itu, maka fungsi kehadiran Pemda di pertemuan-pertemuan seperti FSSM, Gebu Minang, dll. akan semakin konkrit. Pemda bisa mengarahkan sektor yang bisa digarap para saudagar. Bukan sekedar menyampaikan pidato mengambang yang hanya bisa diwacanakan. (Sumber, Padang Ekspres, 11/10/08)