Friday, October 24, 2008

MINANGKABAU “REGION-STATE”

Pada sisi lain, penulis juga sering mendengar keluhan dari bupati/wali kota yang progresif, bahwa Pemprov Sumbar tidak pernah punya blue print alias visi pembangunan yang jelas, sehingga terpaksa mereka harus berjuang sendiri sesuai dengan visi masing-masing. Artinya, sejatinya ada peluang bagi pemda provinsi untuk membangun sinergi dengan pemerintah kabupaten/kota, tanpa harus menunggu “rengekan kewenangan” mereka kepada pemerintah pusat disetujui. Yang mereka perlukan hanya sebuah visi dan strategi pembangunan yang jelas, terukur, realistik, disepakati bersama, dan dapat ditelusuri.

Sejak dahulu kala Pemda Sumbar selalu menyampaikan keluhan yang sama: Sumatera Barat adalah daerah minus sumberdaya, masyarakatnya yang susah diatur, menolak pariwisata karena alasan religi, penguasaan teknologi yang rendah, dst. Mereka juga mengeluhkan tentang keterbatasan wewenang pemda yang membuat mereka tidak berwibawa di hadapan pemerintah kabupaten/kota. Seakan ingin mengatakan masalah di atas adalah given dan oleh karena itu pembangunan Sumatera Barat hanya bisa secara business as usual.

Ketika para tokoh saudagar Minang berkumpul di ranah pada tanggal 10-12 Oktober tahun 2008 ini dalam Forum Silaturahmi Saudagar Minang (FSSM), yang didukung sepenuhnya oleh pemerintah (pusat dan daerah) sungguh layak bagi kita untuk mendiskusikan gagasan tentang visi pembangunan Sumbar ke depan, yang bisa dijadikan sebagai kerangka guna menyatukan potensi sumberdaya Sumbar untuk kesejahteraan masyarakat Sumbar itu sendiri. Gagasan itu saya sebut sebagai “Minangkabau region-state” (MRS).

Konsep “Region-State”

Konsep “region-state” (RS) dikemukakan oleh Kenichi Ohmae (The next Global Stage: The Challanges and Opportunities in Our Borderless World, 2005) sebagai tantangan damai terhadap konsep “nation-state” (NS) yang ilusif namun penuh emosi. Bagi Ohmae NS hanya bisa diterima karena telah diterapkan secara luas dan berhasil mendamaikan pluralisme dalam suatu negara. Namun seharusnya NS hanya digunakan sebagai konsep politik, tidak bisa diperluas penggunaannya dalam konsep ekonomi. Karena, penerapannya dalam ekonomi hanya akan membuat aplikasi konsep-konsep ekonomi – seperti pertumbuhan, pendapatan per kapita – menjadi bias. Ketika dikatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 6,5% tidak berarti seluruh provinsi (RS) memiliki pertumbuhan 6,5%. Bisa jadi ada daerah yang pertumbuhan ekonominya 2% dan yang lain 10%.

Konsep ini mendorong daerah untuk mandiri secara ekonomi dan independen dalam kebijakan. Di era globalisasi ini, sebuah RS harus diberi kebebasan untuk berinteraksi dengan ROW (Rest Of the World), mengatur regionnya sedemikian rupa sehingga ROW datang mensejahterahkan rakyat di RS tersebut. Bahkan Ohmae menyerukan agar RS bersaing satu sama lain untuk mengundang ROW berinvestasi dan menciptakan lapangan kerja di daerahnya.

Ohmae memang tidak menyamakan RS dengan wilayah administratif seperti provinsi, namun untuk kasus Indonesia pada umumnya, terutama Sumbar, provinsi bisa dikategorikan sebagai satu kesatuan ekonomi RS.

Untuk bisa berkembang dan menjadi perhatian ROW, RS harus memiliki visi yang jelas, yang menggambarkan fokus pengembangan wilayah itu. Selanjutnya RS harus memiliki pelabuhan internasional sebagai tempat keluar masuknya barang dari ROW ke RS dan sebaliknya, memiliki infrastruktur teknologi informasi (internet) memadai, penguasaan Bahasa Inggris oleh penduduknya untuk memudahkannya berkomunikasi dengan ROW, dan memiliki perguruan tinggi teknologi yang diperlukan untuk mewujudkan visi yang telah ditetapkan.

Berbicara mengenai visi bagi Ohmae bukan berarti rumusan kata-kata indah dalam dokumen  rencana strategis pemerintah, jauh lebih penting adalah tindakan-tindakan konkrit di lapangan yang menunjuk pada arah, dan menggambarkan strategi, tertentu. Ketika Pemda Sumbar membangun sekolah tinggi pariwisata menterang di dua tempat sambil pada saat bersamaan mengalihkan semua SMK  menjadi SMK Pariwisata serta memperbaiki infrastruktur pariwisata secara besar-besaran umpamanya, menunjukkan visi Sumbar sebagai daerah wisata, walaupun pernyataan itu tidak ada dalam rumusan visi resminya. Begitu pula ketika pemerintah membangun banyak bidang tanpa ada garis merah antara bidang-bidang itu, akan memperlihatkan pemerintah tidak punya visi, kendati rumusan visinya bagus secara teori.

Visi Pariwisata

Sejak pemerintahan sebelumnya, Pemda Sumbar giat memasarkan daerahnya untuk investasi. Namun, sebagaimana juga dilakukan pemda lain di Indonesia, cara yang mereka lakukan adalah cara-cara konvensional; yaitu ibarat memasarkan seisi rumah ke pasar, termasuk kasur-kasuk busuk yang tidak layak jual. Coba tengok website pemerintah daerah di Sumbar; mereka menawarkan semua hal; mulai dari pertambangan, perkebunan, kerajinan, perikanan, peternakan; baik besar maupun kecil; tanpa ada fokus dan konsep yang jelas tentang (rencana bisnis) apa yang akan dilakukan oleh pemda setempat terhadap potensi-potensi tersebut. Mereka lupa bahwa banyak daerah lain di seluruh dunia yang punya hal yang sama, kalau bukan jauh lebih baik.

Menurut penulis, kendati semua gubernur dan aparat pemerintah mengatakan bahwa ada penolakan yang keras dari masyarakat terhadap pariwisata, Pemda Sumbar harus berani menetapkan visi Sumbar sebagai daerah wisata. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan Sumbar harus diyakinkan bahwa rakyat Sumbar hanya bisa sejahtera melalui pembangunan dengan thema pariwisata. Artinya, pembangunan sektor lain, sejauh memungkinkan secara teknis, harus juga didedikasi untuk pariwisata. Lokasi tambang umpamanya, kendati memiliki proses bisnis tersendiri, harus didisain agar bisa dijadikan obyek wisata pula. Demikian pula peternakan, perkebunan, dll. seperti telah dilakukan secara terbatas di beberapa daerah.

Ini memungkinkan dilakukan di Sumbar. Di Sawah Lunto umpamanya, yang telah membangun woter boom – yang juga dikunjungi pengunjung dari berbagai daerah sekitar Sumbar – dan akan membangun kereta gantung, bekas tambang mereka bisa dijadikan bukan saja untuk dilihat, melainkan juga bisa dijadikan sebagai tempat belajar sekolah teknik pertambangan, sehingga orang datang bukan hanya untuk berwisata tetapi juga bersekolah. Di sana juga punya potensi peternakan rakyat yang tersebar di perbukitan yang unik, sehingga disamping sebagai penghasilan peternak juga berkembang sebagai obyek wisata; seperti dilakukan di Swiss yang mempertontonkan peternakan dan proses pembuatan coklat yang bahan bakunya susu sapi dari peternakan setempat.

Akan tetapi, pariwisata Sawah Lunto akan berjalan lamban bila berkerja sendiri. Disitulah pentingnya dibuatkan cluster pembangunan pariwisata yang melibatkan daerah lain di sekitarnya seperti Solok, Sijunjung, Tanah Datar, dan Damasraya. Tiap daerah bisa didorong membangun obyek wisata monumental, Pemda Sumbar bisa memperbaiki akses jalan antar daerah tersebut, membangun kawasan perhotelan yang representatif sehingga mendorong turis menetap lebih lama untuk melihat obyek wisata yang lebih variatif.

Ketika cluster tersebut sudah ditetapkan dan didisain, tidak terlalu sulit menghitung potensi wisatawan yang datang, investasi pemerintah yang diperlukan, investasi swasta yang diharapkan, sektor ekonomi yang bisa dikembangkan masyarakat, kebijakan dan pembinaan yang perlu diberikan pemerintah, tenaga kerja yang terserap, keahlian dan perilaku masyarakat yang perlu dikembangkan, sekolah yang perlu dibangun, dst.

Dalam konteks MRS, cluster pariwisata seperti itu dengan sub thema berbeda bisa dikembangkan di wilayah lain seperti Padang Panjang-Bukittinggi-Agam-Payah Kumbuh; Padang-Pariaman- Agam; dst. Dan antar cluster itu bisa saja bersinergi satu sama lain sehingga secara regional akan terlihat oleh ROW betapa MRS memiliki potensi wisata yang besar sehingga menjadi tempat berinfestasi di bidang pariwisata yang menjanjikan.

Dengan konsep MRS itu, maka fungsi kehadiran Pemda di pertemuan-pertemuan seperti FSSM, Gebu Minang, dll. akan semakin konkrit. Pemda bisa mengarahkan sektor yang bisa digarap para saudagar. Bukan sekedar menyampaikan pidato mengambang yang hanya bisa diwacanakan. (Sumber, Padang Ekspres, 11/10/08)

Friday, July 25, 2008

Reformasi Auditor Publik:

Selama ini kata reformasi birokrasi seakan hanya pantas diarahkan pada lembaga-lembaga pemerintah seperti pemda, departemen dan lembaga pemerintah non-departemen lainnya plus lembaga-lembaga peradilan. Padahal lembaga audit yang penuh karut marut tidak tersentuh.
Lembaga audit seperti inspektorat, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pengawas Keuangan (BPK), yang lazim disebut auditor publik (public auditor), sepertinya diasumsikan sebagai lembaga yang berada di garda depan pendorong reformasi (pro reformasi), atau setidaknya sebagai lembaga yang paling akhir urutan prioritas subyek reformasi birokrasi.
Persepsi tersebut tidak mengherankan mengingat laporan rutin mereka selalu ditunggu untuk menentukan sasaran prioritas reformasi birokrasi atau setidaknya menjadi referensi tambahan bahwa reformasi birokrasi semakin mendesak dilakukan.
Betapa tidak, karena laporan tahunan mereka – yang biasanya menjadi headline surat kabar – selalu memuat atau menonjolkan temuan-temuan atau penyimpangan keuangan yang terjadi di berbagai lembaga pemerintah di atas.
Ada sekian temuan dengan potensi kerugian negara sekian teriliun, yang diselesaikan sekian miliar, dan seterusnya merupakan acara rutin publisitas Ketua BPK atau Kepala BPKP. Pada publikasi rutin (Laporan BPK umpamanya) itu selalu ada kata-kata “tidak ada itikad yang sungguh-sungguh dari para Menteri/Ketua Lembaga Negara/Pimpinan Instansi//Kepala Daerah/Direksi/Komisaris untuk melakukan proses pemulihan kerugian negara sesuai ketentuan yang berlaku”, sehingga dikesankan publik boleh berharap pada eksistensi lembaga audit untuk mengembalikan pajak mereka yang dijarah para birokrat. Bisakah kita berharap demikian?
Kegagalan Auditor Publik
Penyelesaian 486 kasus tindak pidana korupsi yang ditemukan BPKP pada periode 2002-2006 (empat tahun, pen), seperti terlihat dalam Tabel 1 berikut ini, hanya 20%. Sebagian besar kasus tersebut masih tertahan di aparat hukum (kejaksaan, kepolisian dan KPK) sehingga pengembalian uang negara menjadi terhambat. Padahal audit investigasi atas 486 kasus itu atas permintaan ketiga aparat hukum tersebut.
Tabel 1: Penyelesaian Hasil Audit BPKP Periode 2002-2006

Bila tujuan dibentuknya BPKP adalah untuk menyelamatkan uang negara dari jarahan koruptor, maka hasil tersebut sangat tidak memadai mengingat anggaran BPKP sekitar 500 miliar per tahun. Artinya, untuk menyelamatkan uang negara sebesar Rp 338,6 miliar (20% dari total kerugian yang ditemukan BPKP) diperlukan biaya sebesar 2 triliun lebih (4xRp 500M). Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan kepolisian, kejaksaan dan KPK untuk menyelesaikan kasus-kasus tersebut. Memang ada hasil lain dari kerja lembaga audit pemeritah ini pada periode yang sama, yaitu penyelesaian administratif sebanyak 1.214 kasus dengan nilai sebesar Rp 365,97 miliar. Namun hasil itu tetap tidak mencukupi dibanding biaya yang mereka keluarkan. Jadi, alih-alih menyelamatkan uang negara justru kita harus mengorbankan sejumlah uang lagi yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan lebih produktif.
Hasil lembaga audit negara Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), meski ratio produktivitasnya sedikit lebih baik, menunjukkan tren yang tak jauh berbeda. Dari Rp 33 triliun lebih dan USD 5,5 juta kerugian negara hanya Rp 2,79 triliun lebih dan USD 504,4 ribu saja yang bisa diselamatkan dalam periode Tahun 2005 sampai dengan Semester I 2006 (Lihat Tabel 2).
Manajemen Seremonial

Tabel 2: Rekapitulasi Temuan Pemeriksaan Berindikasi Kerugian Negara
Tahun 2005 sampai dengan Semester I 2006* Dalam juta rupiah dan ribu valas
Periode Pemeriksaan
Kelompok Penanggung Jawab
Kerugian Negara/ Daerah
Telah Diselamatkan/ Disetor ke Kas Negara
Sisa Kerugian Negara
Kasus
Nilai
Kasus
Nilai
Kasus
Nilai
TA 2005
Pemerintah Pusat
701
7.713.057,46 5.526,83*
104
2.507.869,90 504,40*
597
5.205.187,56 5.022,43*
Pemerintah Daerah
2.330
1.352.224,56
226
89.187,12
2.104
1.263.037,44
BUMN
23
4.761.569,75
0
0.00
23
4.761.596,75

3.054
13.826.878,77 5.526,83*
330
2.597.057,02 504,40*
2.724
11.229.821,75 5.022,43*
Semester I TA 2006
Pemerintah Pusat
165
16.055.783,27
18
142.972,78
147
15.912.810,49
Pemerintah Daerah
1.530
1.868.803,01
3
293,11
1.527
1.868.509,90
BUMN
26
1.320.940,03
5
56.287,32
21
1.264.652,71

1.721
19.245.526,31
26
199.533,21
1.695
19.045.973,10
Jumlah

4.775
33.072.405 5.526,83*
356
2.796.610 504,40*
4.419
30.275,795 5.022,43*
Sumber: Kompas, Sabtu, 6/1/07
Angka-angka di atas – setidaknya – menunjukkan dua hal: pertama, para pimpinan lembaga audit kita (BPK da BPKP) mempertontonkan kejumudan pikiran mereka. Setiap tahun mereka melaporkan kehebatannya menemukan berbagai penyimpangan yang dilakukan birokrat akan tetapi pekerjaan mereka tidak menghasilkan apa-apa.
Laporan mereka itu hanya berhasil untuk kepentingan mereka sendiri yakni menunjukkan kepada publik bahwa “I have done my job, they dont.”. Pada hal angka yang mereka sajikan itu justru menggali kubur untuk mereka sendiri, angka-angka yang menunjukkan ketidakberartian lembaganya. Mereka telah kehilangan kreativitas untuk menjaga eksistensinya dalam sistem, yang dalam bahasa Barzelay (1992) disebut sebagai “the slave of obsolete idea” (budak dari ide-ide kuno).
Kedua, semakin memperkuat argumentasi yang telah lama diterima secara universal namun masih belum menjadi keyakinan para pengambil keputusan kita, bahwa model birokrasi Weber tidak cocok lagi untuk organisasi di abad 21 ini.
Argumentasi itu berbasis pada Teori X Mc Gregor, bahwa setiap manusia punya kecenderungan negatif, oleh sebab itu perlu diawasi secara ketat dan ketika mereka menyimpang diberi hukuman yang bisa memberi efek jera pada yang lain.
Argumentasi ini telah diterima luas oleh para penyelenggara negara dan publik seperti terlihat dari antusiasme politisi dan media massa menunggu laporan BPK dan BPKP serta menjadikan laporan mereka sebagai headline. Berita yang senantiasa menarik perhatian publik dan menjadi referensi para watchdog untuk mendesak lembaga lain agar menindak lanjuti temuan tersebut.
Sistem manajemen yang telah diterima luas itu ingin saya sebut sebagai “manajemen hantu”. Sebab, ibarat hantu, dimanapun di dunia, memang berhasil menakut-nakuti banyak orang. Dan, hantu, dimanapun, hanyalah ilusi. Demikian pula dengan hasil kerja auditor publik, seperti diperlihatkan tabel-tabel di atas, hanya memberikan dampak positif yang ilusif.
Dia telah menghantui para birokrat sedemikian rupa sehingga pekerjaan mereka seakan-akan didedikasikan untuk para auditor publik, agar mereka tidak didatangi para auditor. Rapat-rapat mereka senantiasa memperhitungkan apakah pekerjaan dan laporan yang mereka buat dapat diterima oleh auditor.
Jika tidak mereka harus merumuskan tindakan lain, mensiasati laporan, atau memberikan sesajen untuk mengusir para hantu tadi. Meminjam gurauan seorang sahabat, “manajemen hantu” itu hanya menghasilkan sistem sesajen (sogokan) berantai, diberikan pada hantu kemudian dimakan oleh gendoruwo. Skandal korupsi yang terjadi di KPU merupakan contoh konkrit dari sesajen berantai tersebut, yang melibatkan anggota KPU, Ditjen Anggaran, DPR dan BPK.

Format Baru Auditor
Kegagalan manajemen hantu itu memang tidak harus berujung pada penegasian eksistensi auditor publik dalam sistem administrasi negara kita. Kegagalan auditor publik itu lebih disebabkan oleh kesalahan format, bukan pertanda eksistensinya tidak diperlukan.
Format lama hanya berhasil menyebarkan ketakutan yang menghambat kreativitas dan kemudian “berhasil” diatasi oleh para birokrat dengan memanfatkan kelemahan metodologis format lama. Seperti kita ketahui, format lama hanya melakukan audit keuangan dengan pendekatan legalistik.
Artinya, apabila para pelaksana bisa menunjukkan bukti-bukti tertulis yang sesuai dengan peraturan perundangan, maka auditor tidak bisa berkutik. Contoh, auditor tidak dapat menyalahkan birokrat yang melakukan perjalanan dinas yang tidak bermakna bagi pekerjaan atau perjalanan dinas yang tidak terlaksana, selama pelaksana dapat menunjukkan bukti-bukti otentik; kendati bukti-bukti itu hasil rekayasa.
Auditor tidak dapat menyalahkan pelaksana atas pembelian barang dan jasa, selama barang dan jasa itu terbukti ada dan harganya sesuai dengan peraturan; kendati barang dan jasa itu tidak produktif sama sekali. Format lama tidak mempedulikan apakah program-program yang dibuat sesuai (in line) dengan rencana strategis lembaga itu, dan tidak diperdulikan pula apakah program-program berjalan efektif dan efisien.
Oleh karena itu, diperlukan format baru atau reformasi pada lembaga audit pemerintah dan negara. Format baru tidak berbekal teori x Mc Gregor, justru memberikan kepercayaan lebih besar pada pelaksana dan meninggalkan ilusi bahwa ada lembaga atau sistem yang mampu mengawasi keseluruhan operasi secara baik.
Kalau selama ini para auditor merupakan sosok yang menakutkan ibarat hantu yang gentayangan dimana-mana, maka dalam format baru auditor publik justru sebagai mitra yang mebantu proses peningkatan berkelanjutan dalam manajemen eksekutif. Sebab, auditor berfungsi membantu eksekutif menemukan masalah yang terjadi dalam sistem sehingga memungkinkannya mengambil tiondakan koreksi dan pecegahan secara memadai.
Oleh karena itu temuan-temuan BPK dan BPKP bukanlah melulu dilihat sebagai objek pidana, melainkan petunjuk bagi semua pihak terkait untuk peningkatan prosesnya masing-masing.
Untuk bisa menjadikan diri sebagai mitra, maka auditor tidak cukup hanya melakukan audit keuangan, namun juga audit kinerja dan sistem manajemen pemerintah.
Format baru itu tidaklah sepenuhnya baru karena telah diamanatkan dalam pasal 4 ayat 1 UU No. 15/2004 tentang pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara serta telah menjadi bagian dari rencana strategis BPK. Hanya saja, format baru ini perlu kerja keras, peningkatan kapasitas para auditor, termasuk menjaga pikiran terbuka karena mereka harus menguasai proses-proses (bukan teknis) yang sangat beragam.

KERANCUAN SISTEM MANAJEMEN MUTU PENDIDIKAN

Kendati selalu dikritik dan menimbulkan kontroversi, pemerintah tetap menyelenggarakan Ujian Negara (UN). Alasannya, sesuai Pasal 68 PP No. 9/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UN ditujukan untuk menguji mutu lulusan dan melakukan pemetaan mutu pendidikan secara nasional, pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Akan tetapi, bila kita telusuri lebih dalam, UN hanya salah satu wujud kerancuan konsep, organisasi dan kebijakan dari manajemen mutu pendidikan yang dikembangkan pemerintah melalui PP No. 9/2005. Bila situasi ini tidak dikoreksi, manajemen mutu pendidikan kita tidak akan efektif, karenanya kita tidak bisa berharap mutu pendidikan negeri ini akan membaik, kendati standar UN ditingkatkan berlipat-lipat.
Konsep Basi
Persoalannya, UN hanya mampu mengukur produk akhir satuan pendidikan. Dia tidak mampu memberikan ukuran-ukuran isi, proses, infrastruktur, pengelolaan dan komponen-komponen sistem pendidikan lainnya yang menghasilkan produk akhir tersebut. Dalam perspektif manajemen mutu, UN bisa dikatakan sebagai sistem yang dipakai pemerintah untuk menginspeksi mutu produk akhir (siswa) satuan pendidikan belaka, agar produk (siswa) dibawah standar tidak terkirim ke proses (pendidikan) berikutnya. Sistem itu mirip dengan konsep mutu fitness to standard (Shiba et al. 1993). Sebuah sistem basi yang telah ditinggalkan dunia industri sejak tahun 1960-an.
Sistem itu ditinggalkan karena dinilai tidak efisien. Sebab, penyimpangan produk hanya bisa diketahui setelah produk jadi, sehingga koreksi yang dilakukan sudah terlambat dan memakan biaya besar. Apa yang bisa dilakukan pada sistem itu hanyalah mendaur ulang atau memperbaiki produk akhir yang biasanya hampir mustahil sesuai standar yang diharapkan. Kita kehilangan waktu dan biaya untuk menghasilkan produk akhir (yang salah), disamping waktu dan biaya untuk mendaur ulang/memperbaiki produk tersebut dengan hasil yang tidak sempurna.
Lagi pula inspeksi di akhir saja tidak memberikan informasi memadai tentang akar masalah, karena kesalahan yang terjadi telah bertumpuk sehingga susah diurai. Dalam UN hasil maksimal yang bisa didapat adalah kelemahan siswa pada bagian tertentu dalam mata pelajaran yang diuji. Tidak bisa diketahui penyebab dari masalah tersebut yang punya banyak kemungkinan seperti proses belajar mengajar yang tidak standar, kurikulum tidak dijalankan sebagaimana seharusnya, kualitas guru dan infrastruktur yang tidak memadai, dsb.
Kelamahan lain dari konsep tersebut ialah disharmoni antara inspektor dan produsen. Dalam hal UN, guru dan sekolah sebagai produsen diposisikan sebagai tertuduh belaka ketika hasil akhirnya tidak memenuhi syarat. Padahal, mutu produk yang baik hanya bisa dihasilkan bila ada hubungan harmonis antar aktor yang terlibat. UN tidak bisa memberikan pembinaan dan bantuan apa-apa terhadap guru dan satuan pendidikan untuk mengatasi masalahnya seperti diharapkan Pasal 68 PP No. 9/2005. Sehingga tidak mengherankan bila banyak guru berani berbuat nekat melakukan perbuatan bertolak belakang dengan tujuan pendidikan itu sendiri, hanya untuk menghidari posisi sebagai tertuduh.
Konsep mutu UN berbeda dengan konsep mutu yang diamanatkan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Pasal 35 (ayat 1) UU itu mengatakan: standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. Standar tersebut dijadikan sebagai acuan (ayat 2) dan harus dipantau oleh sebuah badan standarisasi, penjaminan dan pemantauan mutu pendidikan (ayat 3). Ketentuan dalam ayat 1, 2 dan 3 tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri (ayat 4).
Quality Assurance
Konsep yang cocok dengan amanat UU tersebut adalah Quality Assurance (QA) atau penjaminan mutu. QA adalah semua tindakan penting yang terencana dan sistematik untuk memberikan kepercayaan memadai bahwa struktur, sistem, atau komponen akan terlaksana secara memuaskan (United States Nuclear Regulatory Commission). Jadi, QA mencakup keseluruhan unsur penting dalam pasal 35 ayat 3 itu, yakni pengembangan standar, infrastruktur, personel, pemantauan, pelaporan, pengelolaan, penjaminan dan pengendalian, yang dirangkai dalam satu kesatuan sistem yang solid.
Dalam praktek QA dikendalikan oleh suatu divisi tersendiri yang terpisah dari divisi operasional dengan kewenangan cukup kuat. Tugas divisi itu biasanya adalah mengembangkan standar, memantau, melaporkan pencapaian, mengembangkan sistem untuk mengendalikan dan menjamin pencapaian standar, melakukan penilaian (assessment) terhadap sistem, serta melakukan pelatihan-pelatihan dalam konteks tugasnya tersebut, dsb.
Beranjak dari konsep dan praktek seperti diuraikan di atas, penulis berpendapat bahwa badan dimaksud dalam pasal 35 ayat 3 UU Sisdiknas di atas adalah semacam Badan Penjaminan Mutu Pendidikan (The Quality Assurance Agency for Education). Mirip seperti The Quality Assurance Agency for Higher Education (QAA) di Inggris yang bertugas untuk menjamin pencapaian mutu pendidikan tinggi.
Dari sisi nama, mengingat terjelamahan Inggris-nya, The Quality Assurance Agency for Education, Lembaga Penjaminan Mutu Pendidkan (LPMP) sangat pas dengan pasal 35 ayat 3 di atas. Namun UU itu menyebut nomenklatur “badan”, bukan “lembaga”, sesuatu yang berbeda kedudukan dan kewenangannya dalam sistem birokrasi kita.
Permendiknas No. 7/2007, yang melahirkan kembali LPMP, mengatakan tugas LPMP adalah melaksanakan penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah termasuk taman kanak-kanak (TK) dan raudatul athfal (RA) di Propinsi sesuai kebijakan Mendiknas. Akan tetapi fungsi yang diamanatkan padanya, yaitu melakukan pemetaan, pengkajian, supervisi, fasilitasi, serta pengelolaan data dan informasi mutu pendidikan dan tenaga kependidikan jelas tidak begitu tegas sebagai lembaga penjamin mutu pendidikan. Bahkan, tambahan “tenaga kependidikan” dalam fungsinya, bisa mengakibatkan tereliminirnya mutu pendidikan sebagai mutu tenaga pendidikan saja.
Di sini terbukti bahwa PP No. 9/2005 tidak saja telah melencengkan konsep QA yang disiratkan UU Sisdiknas melalui UN, melainkan juga dengan mengacaukan organisasinya. Alih-alih mengembangkan sebuah badan dengan fungsi QA, PP tersebut justru mengembangkan organisasi lain bernama LPMP.
Kehadiran LPMP ini boleh dikatakan ujug-ujug – kalau bukan dipaksakan – dalam sistem manajemen mutu pendidikan kita. Sebab, lemabaga ini semula adalah Balai Pelatihan Guru (BPG) yang berkedudukan di setiap propinsi di Indonesia. Melalui SK Mendiknas No. 087/O/2003 jo SK Mendiknas 044/O/2004 dirubah menjadi Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan (tanpa akhiran “an” pada kata penjaminan). Perubahan SK Mendiknas dalam waktu dekat (2003-2004) untuk lembaga yang sama itu mencerminkan kehadiran LPMP tidak punya konsep yang jelas. Ketidak jelasan itu terlihat dari ketimpangan nomenklatur dengan tupoksi (Tugas pokok dan fungsi). Kendati berlabel penjamin mutu pendidikan, aktivitas lembaga itu masih sangat mirip BPG.
Kerancuan Kedudukan
Kedudukan LPMP di bawah Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK), tepatnya di bawah Direktorat Pembinaan Diklat (Ditbindiklat); bersama-sama lembaga diklat pendidik dan tenaga kependidikan milik Depdiknas lainnya; bisa mengeliminir konsep mutu pendidikan menjadi urusan diklat pendidik dan tenaga kependidikan belaka. Tujuh standar lain (proses, isi, infrastruktur, dll) seakan terabaikan. Lagi pula, kedudukan lembaga QA harus mandiri dan profesional.
Sejatinya, dilihat dari kedudukan dan dasar hukum (UU Sisdiknas), yang tepat sebagai lembaga QA dalam sistem manajemen mutu pendidikan kita saat ini adalah BSNP. Persoalannya BSNP tidak diberi tupoksi yang memadai sebagai lemabaga QA. Fungsi penjaminan mutu pendidikan, dalam PP No. 9/2005, tampaknya dibagi antara LPMP dam BSNP. Namun, persoalan berikutnya adalah: 1) bila digabung tupoksi keduanya juga tidak memadai menjalankan fungsi QA; dan 2) tidak ada hubungan sistemik yang solid antara keduanya; 3) begitu pula hubungan dengan pemda, yang de facto dan de jure menguasai satuan pendidikan yang menjadi subjek hukum UU Sisdiknas dan PP No. 9/2005 tersebut.
Sistem manajemen mutu yang rancu seperti diuraikan di atas tentu akan menghadapi banyak kendala implementasi. Lalu, mutu pendidikan seperti yang bisa diharapkan dalam sistem seperti itu?